PEMBERONTAKAN PRRI / PERMESTA DAN G30S/PKI
PEMBERONTAKAN PRRI
Pemberontakan PRRI Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah sebuah pemerintahan baru berupa
gerakan pertentangan di Sumatera pada 1950. PRRI diprakarsai oleh beberapa
tokoh seperti: Letnan Kolonel Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr.
Assaat Dt. Mudo, Maluddin Simbolon, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Moh.
Sjafei, J.F. Warouw, Saladin Sarumpaet, Muchtar Lintang, Saleh Lahade, Ayah
Gani Usman, dan Dahlan Djambek.
Setelah pembentukan Dewan Banteng
pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein kemudian merebut kekuasaan
Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo.
Dengan dalih gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan
pembangunan daerah, Letkol Ahmad Husein kemudian mencetuskan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958. PRRI
kemudianmengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat, yaitu:
Dibubarkannya Kabinet Djuanda Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX
membentuk pemerintahan sementara sampai pemilihan umum berikutnya akan
dilaksanakan Soekarno kembali pada posisi konstitusionalnya.
Tuntutan lain yang juga diajukan
oleh PRRI juga terkait dengan masalah otonomi daerah karena pemerintah pusat
dianggap tidak adil kepada para warga sipil dan militer soal pemerataan dana
pembangunan. Pemerintah menganggap pemberontakan PRRI harus segera dituntaskan
dnegan melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara Angkatan Perang RI (APRI). Tentara APRI melayangkan
berbagai macam tindak kekerasan, bahkan ribuan orang juga ditangkap dengan cara
paksa karena dicurigai sebagai simpatisan PRRI.
Selama kondisi tersebut diketahui
korban jiwa yang jatuh sebanyak 22.174 jiwa, 4.360 orang mengalami luka-luka,
dan 8.072 orang menjadi tawanan. Melalui Jenderal Abdul Haris Nasution, tentara
PRRI berusaha dibujuk untuk menyerah dan kembali setia kepada NKRI. Mendekati
penghujung tahun 1960, seluruh wilayah di Sumatera Barat pada akhirnya berhasil
dikuasai oleh para tentara APRI.
Elemen sipil dan tentara diberi sebuah amnesti oleh pemerintah yang melui
Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961 pada 22 Juni 1961. Pada kenyataannya,
amnesti tersebut tak memberi dampak karena masyarakat terutama pelajar dan
mahasiswa masih hidup dalam tekanan selama bertahun-tahun.
PEMBERONTAKAN PERMESTA (PERJUANGAN
RAKYAT SEMESTA)
Pemberontakan Permesta Perjuangan
Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) adalah gerakan militer yang
dideklarasikan oleh Pemimpin Militer Indonesia Timur pada 1957.
Pemimpin Permesta adalah Kolonel Ventje Sumual, seorang perwira militer yang
terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia. Pemberontakan Permesta juga
dilatarbelakangi dengan kekecewaan akan kebijakan pemerintah pusat yang
dianggap mengistimewakan Pulau Jawa dibanding daerah lain. Berkembangnya
sentimen ini kemudian memicu timbulnya aspirasi untuk memisahkan diri dari
Indonesia.
Bermula dari permintaan Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani kepada
perdana Menteri Ali Sastroamijoyo dan Mendagri R. Sunarjo pada 1957. Permintaan
itu adalah untuk mengupayakan otonomi yang lebih besar khususnya di Indonesia
Timur, termasuk pembagian pendapatan pemerintah yang lebih banyak untuk proyek
pembangunan di daerah. Hal tersebut tidak mendapat tanggapan sehingga Andi
Burhanuddin dan Henk Rondonuwu sebagai delegasi dari Sulawesi kembali ke
Jakarta untuk kembali mendesak pemerintah pusat.
Panglima TT-VII Letkol Ventje
Sumual juga mengupayakan hal yang sama namun gagal sehingga pada 2 Maret 1957,
ia memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah Indonesia Timur dengan
Piagam Permesta. Isi Piagam Permesta yaitu: "Pertama-tama dengan
mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan
diri dari Republik Indonesia dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan
nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengka-lai revolusi Nasional."
Dalam mengatasi pemberontakan Permesta, pemerintah memulai dengan mengupayakan
perundingan untuk mengakhiri pemberontakan.
Pada 17 Desember 1960, Permesta
menyetujui untuk mengakhiri pemberontakan karena pemerintah pusat bersedia
membagi Provinsi Sulawesi menjadi dua provinsi yaitu Sulawesi Utara dan
Sulawesi Tengah, dengan ibukota di Manado. Untuk menumpas pemberontakan, pemerintah
juga melancarkan beberapa operasi militer, yaitu Operasi Merdeka, Operasi
Tegas, dan Operasi Sadar. Penumpasan pemberontakan Permesta juga disebut lebih
sulit ditumpas dibanding pemberontakan lainnya karena adanya keterlibatan asing
yakni Amerika Serikat.
Pada Oktober 1961, akhirnya seluruh wilayah yang dikuasai oleh pasukan Permesta berhasil kembali ke Republik Indonesia melalui operasi-operasi TNI tersebut. Permesta resmi berakhir dengan pemberian amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat Permesta melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322 tahun 1961.
GERAKAN 30S/PKI
Ada dan berdirinya sebuah negara
tentu mempunyai sejarah yang amat panjang, termasuk juga Indonesia. Setelah
merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, perlu perjuangan untuk bangsa
Indonesia dalam melakukan kedaulatan secara utuh. Negara Indonesia bahkan harus
menghadapi berbagai pergolakan setelah memperoleh kemerdekaan. Salah satunya
yaitu adanya peristiwa yang disebut dengan Gerakan 30 September yang dilakukan
oleh Partai Komunis Indonesia di tahun 1965. Peristiwa tersebut lebih dikenal
dengan G30S/PKI. Apa itu G30S/PKI?
Bisa dikatakan bahwa G30S/PKI
atau Gerakan 30 September 1965/PKI adalah suatu pengkhianatan yang paling besar
yang terjadi pada bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi di malam hari,
tepatnya pada pada pergantian dari tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober.
Tragedi ini melibatkan Pasukan Cakrabirawa dan juga Partai Komunis Indonesia
atau PKI.
Gerakan ini memiliki tujuan untuk
menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. Tak hanya itu, mereka juga
menginginkan pemerintah Indonesia berubah menjadi pemerintahan komunis.
G30S/PKI dipimpin langsung oleh ketuanya pada saat itu yang bernama Dipa Aidit.
Ketua gerakan ini sangat gencar memberikan hasutan kepada seluruh warga
Indonesia agar mendukung PKI. Mereka memberikan iming-iming bahwa Indonesia
akan lebih maju dan sentosa jika dibawah kekuasaan PKI.
Peristiwa G30S PKI terjadi pada
masa pemerintahan Presiden Sukarno yang menjalankan sistem “Demokrasi
Terpimpin”. PKI, sebagai partai Stalinis terbesar di luar Tiongkok dan Uni
Soviet, memiliki jumlah anggota yang sangat besar. Selain itu, PKI juga mengontrol
gerakan serikat buruh dan gerakan petani di Indonesia. PKI memiliki lebih dari
20 juta anggota dan pendukung yang tersebar di seluruh daerah.
Pada bulan Juli 1959, parlemen
dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden dengan
dukungan penuh dari PKI. Sukarno juga memperkuat angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jenderal militer ke posisi yang penting. PKI menyambut baik
sistem “Demokrasi Terpimpin” dan percaya bahwa mereka memiliki mandat untuk
berkonsepsi dalam aliansi Konsepsi Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM).
Namun, kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan gerakan independen
kaum buruh dan petani tidak berhasil memecahkan masalah politik dan ekonomi
yang mendesak. Masalah ekonomi seperti penurunan pendapatan ekspor, penurunan
cadangan devisa, inflasi yang tinggi, dan korupsi birokrat dan militer menjadi
semakin merajalela.
PKI juga menguasai banyak
organisasi massa yang dibentuk oleh Sukarno untuk memperkuat dukungan bagi
rezim Demokrasi Terpimpin. Dengan persetujuan Sukarno, PKI memulai kampanye
untuk membentuk “Angkatan Kelima” yang terdiri dari pendukung bersenjata mereka.
Namun, para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI
berusaha menghindari bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan
militer. Mereka berupaya menjaga “kepentingan bersama” antara polisi dan
rakyat. Pemimpin PKI, D.N. Aidit, mengilhami slogan “Untuk Ketenteraman Umum
Bantu Polisi”. Pada bulan Agustus 1964, Aidit mengimbau semua anggota PKI untuk
menjaga hubungan yang baik dengan angkatan bersenjata dan mengajak para
pengarang dan seniman sayap kiri untuk membuat karya-karya yang mendukung
“massa tentara”.
Di akhir tahun 1964 dan awal
tahun 1965, terjadi gerakan petani yang merampas tanah dari para tuan tanah
besar. Bentrokan besar terjadi antara petani dan polisi serta pemilik tanah.
Untuk mencegah konfrontasi revolusioner semakin berkembang, PKI mengimbau
pendukungnya untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap pemilik tanah dan
meningkatkan kerja sama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada awal tahun 1965, para buruh
mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. PKI
menjawab dengan memasuki pemerintahan secara resmi. Pada saat yang sama, para
jenderal militer juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI duduk di
sebelah petinggi militer dalam kabinet Sukarno dan terus mendorong citra bahwa
angkatan bersenjata adalah bagian dari revolusi demokratis rakyat.
Tujuan G30S PKI
Gerakan 30 September PKI memiliki
tujuan yang menjadi perdebatan dan interpretasi berbeda. Namun, beberapa tujuan
umum yang dihubungkan dengan gerakan ini adalah:
1. Pengambilalihan
Kekuasaan
Tujuan utama gerakan ini diyakini
adalah untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Anggota
gerakan ini, yang diduga terhubung dengan PKI, berupaya melalui tindakan kudeta
untuk merubah tata kelola politik negara sesuai dengan pandangan ideologi
mereka.
2. Mendukung
Agendas Komunis
PKI adalah partai komunis yang
memiliki pandangan sosialis dan komunis. Salah satu tujuan gerakan ini mungkin
adalah menggeser politik nasional ke arah yang lebih sesuai dengan pandangan
PKI, yang mencakup redistribusi kekayaan, reforma agraria, dan penghapusan
kapitalisme.
3. Menghapus
Pengaruh Militer
Gerakan ini juga mungkin
bertujuan untuk melemahkan pengaruh militer dalam politik Indonesia.
Keterlibatan perwira tinggi militer dalam gerakan ini dapat diartikan sebagai
usaha untuk menggantikan struktur kekuasaan yang ada dengan kekuatan yang lebih
sesuai dengan ideologi komunis.
4. Menghapus
Faksi – Faksi Tertentu
Ada juga pandangan bahwa gerakan
ini bertujuan untuk menghilangkan faksi-faksi tertentu dalam militer atau
politik yang dianggap tidak sejalan dengan tujuan gerakan atau PKI. Pembunuhan
perwira tinggi militer mungkin juga diartikan sebagai langkah untuk mengurangi
resistensi terhadap perubahan politik yang direncanakan.
5. Menciptakan
Perubahan Sosial
PKI memiliki visi perubahan
sosial yang luas, termasuk perubahan dalam distribusi kekayaan dan penghapusan
ketidaksetaraan. Gerakan ini mungkin bertujuan untuk mendorong perubahan sosial
melalui pengambilalihan kekuasaan dan implementasi kebijakan-kebijakan komunis.
Materi selengkapnya bisa lihat video pada link dibawah ini !!!
Comments
Post a Comment