KEDATANGAN BANGSA BARAT KE INDONESIA part 2

SISTEM TANAM PAKSA / CULTURE STELSEL

Sistem tanam paksa pada masa penjajahan Belanda disebut cultuurstelsel. Istilah cultuurstelsel sebenarnya berarti sistem tanaman (culture system atau cultivation system). Sistem tanam paksa adalah sistem yang mengharuskan rakyat melaksanakan proyek penanaman tanaman ekspor di bawah paksaan pemerintah kolonial sejak tahun 1830.

Tanam Paksa atau cultuurstelsel adalah ide Van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya teh, kopi, dan kakao. Sebelum memberikan ide Tanam Paksa ini, Van den Bosch terlebih dahulu sudah mempelajari tradisi di Indonesia. Pada dasarnya Tanam Paksa atau cultuurstelsel ini adalah gabungan dengan ide Raffles, penjajah dari Inggris mengenai Contingenteringen dan pajak tanahnya. Cara kerja Tanam Paksa, lahan desa yang ditanami tebu, nila, kopi sebagai komoditi ekspor tidak akan dikenai pajak. Namun tanah desa yang digunakan petani untuk tempat tinggal dan menanam tanaman kebutuhan sendiri dikenakan pajak. Kemudian, ide ini diajukan kepada Raja Belanda Willem yang tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut.

Ide ini akhirnya membuat Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Tanah Jawa. Pada prinsipnya, tanah jajahan harus memiliki manfaat dengan cara menanam tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia.

Latar Belakang Sistem Tanam Paksa

Sistem tanam paksa pemerintah kolonial Belanda dilaksanakan karena sejumlah peristiwa dan kondisi saat itu, di antaranya sebagai berikut:

1. Belanda menghabiskan biaya yang besar karena terlibat dalam peperangan di masa kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa

2.  Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada 1830.

3.  Belanda menghabiskan biaya hingga sekitar 20 juta gulden untuk menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830). Perang Diponegoro adalah perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.

4.    Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat.

5.    Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.

6.  Kegagalan upaya mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan agar memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk (Belanda).

Sistem Tanam Paksa di Jawa

Tujuan tanam paksa adalah merangsang produksi dan ekspor komoditas pertanian yang laku di pasar dunia. Untuk menyukseskan cultuurstelsel, pemerintah kolonial memberikan pinjaman uang pada orang-orang yang bersedia membangun pabrik atau penggilingan. Pemerintah kolonial Belanda juga menyediakan batang tebu mentah dan tenaga kerja untuk pengusaha tebu. Perluasan tanaman dagang untuk pasar dunia mendorong munculnya modal swasta dengan jumlah besar. Modal swasta ini memunculkan masalah-masalah lain dalam pelaksanaan tanam paksa.

Peraturan Tanam Paksa

Peraturan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam lembaran negara Staatblad Tahun 1834 No. 22. Aturan ini diterbitkan beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Aturan tanam paksa yaitu:

1.   Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di pasar Eropa.

2.   Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa

3.   Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman padi

4.    Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah

5.   Hasil tanaman diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan tersebut diberikan kepada pendudukan.

6.    Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.

7.  Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.

8.   Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropa bertindak sebagai pengawas secara umum.

Penyimpangan Sistem Tanam Paksa

Penyimpangan dalam sistem tanam paksa membuat praktik aturan pokok tanam paksa pada kenyataannya jauh lebih merugikan rakyat. Penyimpangan dalam sistem tanam paksa adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan cultuurstelsel seharusnya sukarela, tetapi dilaksanakan dengan cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan bupati dan kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.

2.  Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima. Seringkali adalah sepertiga hingga seluruh tanah desa agar memudahkan pengerjaan, pengairan, dan pengawasan oleh pemerintah kolonial Belanda.

3.  Pengerjaan tanaman ekspor seringkali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi. Penduduk juga dikerahkan untuk menggarap perkebunan yang letaknya jauh dari desa mereka selama tujuh bulan. Para penduduk tidak terurus dan tanah pertanian mereka terbengkalai.

4.     Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.

5.     Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan pada petani.

6.     Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.

7.   Buruh dijadikan tenaga paksaan seperti yang terjadi di Rembang, Jawa Tengah. Sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan setiap tahun diharuskan mengerjakan tanaman dagang dengan upah sangat kecil. Rakyat juga harus menyerahkan balok, bambu, dan kayu untuk pembuatan bangunan yang akan digunakan untuk tanaman tembakau. 

SISTEM USAHA SWASTA / POLITIK PINTU TERBUKA

Sistem usaha swasta adalah kebijakan yang dikeluarkan sebagai pengganti dari sistem tanam paksa yang dihapuskan pada 1870. Pelaksanaan sistem usaha swasta di Indonesia sendiri dilakukan berdasarkan beberapa peraturan perundangan-undangan, seperti UU Agraria 1870 dan UU Gula.

Pada 1830, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch menetapkan kebijakan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel.

Sistem ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi Belanda yang saat itu sedang mengalami kekosongan kas negara. Alhasil, melalui sistem tanam paksa, rakyat pribumi diharuskan untuk memberi seperlima tanah mereka kepada pihak Belanda. Kemudian, hasil panen juga akan diserahkan langsung kepada pemerintah Belanda. Rakyat pribumi juga dipaksa untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, bahkan melebihi batas waktu kerja yang seharusnya. Penetapan kebijakan sistem tanam paksa ini tentunya melahirkan berbagai bentuk pro dan kontra.

Kebijakan ini memang memberikan keuntungan bagi Belanda, tetapi di sisi lain menyengsarakan rakyat pribumi. Beberapa tokoh Belanda pun juga ikut menentang kebijakan ini, seperti Baron van Hoevell dan Vitalis. Kedua tokoh ini kemudian menganjurkan pembukaan usaha swasta Belanda di Indonesia. Mereka yakin bahwa dengan adanya sistem usaha swasta ini bisa meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia. Terlebih lagi setelah kaum Liberal juga memperjuangkan penghapusan sistem tanam paksa dengan memberlakukan UU Agraria 1870.

Dampak Produksi perkebunan meningkat

Dampak sistem usaha swasta adalah banyaknya pengusaha swasta yang mulai masuk dan berbisnis di Indonesia. Sejak sistem usaha swasta diterapkan, para pengusaha telah membuka banyak usaha perkebunan, seperti kopi, tembakau, tebu, kelapa sawit, dan kina.

Bahkan, beberapa hasil panen juga sampai diekspor ke luar negeri, salah satunya tebu yang dikirim ke Eropa. Dengan demikian, jumlah produksi perkebunan pun juga terus mengalami peningkatan.

Mendapat keuntungan besar

Dampak selanjutnya dari sistem usaha swasta Belanda adalah para pengusaha swasta dan pihak Belanda memperoleh keuntungan yang melimpah. Dengan diterapkannya sistem usaha swasta, para pengusaha bisa membuka perkebunan mereka sendiri di Hindia Belanda. Dari perkebunan ini lah, baik pengusaha swasta maupun Belanda memperoleh keuntungan yang melimpah, diperkirakan mencapai 151 juta gulden pada 1877. Terjadinya transmigrasi di Indonesia Namun, karena beberapa lahan perkebunan, seperti yang ada di Lampung dan Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk yang sedikit dan kekurangan buruh, maka didatangkanlah buruh dari Jawa sebagai buruh perkebunan. Pengiriman tenaga kerja buruh dari Jawa ke Lampung dan Sumatera Utara ini pun dianggap sebagai cikal bakal terjadinya transmigrasi di Indonesia.

Menyiksa rakyat pribumi

Akan tetapi, kebijakan ini juga ternyata sama saja seperti tanam paksa, karena pada akhirnya rakyat Indonesia tetap terpuruk dan tersiksa. Para buruh perkebunan kerap diberi sanksi hukuman apabila pekerjaan mereka tidak sesuai dan juga sering diperlakukan semena-mena oleh pihak Belanda. Selain itu, banyak juga pengusaha swasta yang melanggar UU Agraria 1870, aturan yang menjadi landasan pelaksanaan sistem usaha swasta Belanda.

POLITIK BALAS BUDI

Politik etis adalah sebuah upaya politik balas budi pemerintah Belanda kepada rakyat bumiputra yang telah diperas sehingga menjatuhkan taraf hidupnya. Namun tidak disangka, program ini malah membuka mata orang-orang pribumi akan nasionalisme.

Politik balas budi adalah sikap saling menghormati dan saling memberikan penghargaan antara pelaku politik dalam dunia politik. Hal ini melibatkan sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat, kemampuan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama, dan mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau partai politik.

Sejarah Terbentuknya Politik Balas Budi

Selama masa kolonial, Belanda diketahui menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang berbasis sistem kapitalisme Barat. Salah satu kebijakan Belanda yang bikin masyarakat sengsara adalah sistem tanam paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830.

Orang yang menetapkan kebijakan tanam paksa adalah Johannes van den Bosch, yakni Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu. Ia memaksa masyarakat untuk menyisihkan sebagian tanahnya agar ditanami komoditas ekspor, seperti teh, kopi, dan rempah-rempah lainnya demi kepentingan Belanda.

Kebijakan ini mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan karena hanya membuat rakyat sengsara, apalagi jika ketahuan melanggar akan dihukum berat. Alhasil, sejumlah politikus dan aktivis asal Belanda ikut mengecam kebijakan cultuurstelsel.

Tokoh Belanda yang paling terkenal dalam mengecam kebijakan sistem tanam paksa adalah Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer. Keduanya menilai bahwa kebijakan cultuurstelsel yang diterapkan pemerintah Belanda merupakan tindakan eksploitasi dan merugikan kesejahteraan rakyat.

Akibat banyak penolakan, akhirnya pemerintah Belanda menghentikan sistem tanam paksa di tahun 1863. Walau sudah distop, Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer merasa kalau pemerintah harus bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan program cultuurstelsel.
Dalam buku Sejarah Indonesia oleh Kemdikbud, karena merasa kecewa akhirnya Van Deventer menuangkan berbagai kritik untuk pemerintah Belanda dalam tulisan berjudul "Een Eereschuld" (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids pada 1899.
Dalam tulisannya, ia mengkritik pemerintah Belanda karena mengeksploitasi wilayah jajahannya demi membangun negeri mereka sendiri agar lebih makmur. Kritikan tersebut banyak mendapat respon positif dari beragam kalangan, hingga akhirnya Ratu Wilhelmina mengeluarkan kebijakan baru yang disebut politik etis (politik balas budi). 

Politik etis berfokus pada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat, dan efisien. Adapun tiga program yang dilaksanakan dalam politik etis, yakni irigasi, edukasi, dan emigrasi. Semua program tersebut bertujuan agar rakyat Hindia Belanda bisa memperoleh ilmu dan manfaat dari pemerintah Belanda.

Dampak Politik Balas Budi

Apa yang ditawarkan pemerintah Belanda dalam program politik balas budi sangat menguntungkan masyarakat. Dalam hal irigasi, pemerintah Belanda akan membangun fasilitas yang dapat menunjang aktivitas pertanian dan perkebunan masyarakat, seperti waduk, irigasi, dan berbagai infrastruktur lainnya.
Untuk program edukasi, pemerintah Belanda akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat Hindia Belanda, sehingga mereka bisa memperoleh ilmu pengetahuan dan tidak buta huruf. Pada program emigrasi, pemerintah Belanda akan memindahkan sejumlah penduduk ke berbagai wilayah lain, sehingga tidak terpusat di Jawa dan Madura saja.

Namun, apa yang direncanakan pemerintah Belanda dalam program politik balas budi justru terjadi banyak penyimpangan. Sebab, apa yang ditujukan untuk rakyat malah dirampas oleh masyarakat Belanda sendiri. Misalnya di sektor irigasi, air yang mengalir untuk kebutuhan perkebunan dan pertanian milik rakyat, sebagian diambil oleh orang-orang Belanda untuk kebutuhan mereka. Lalu, program edukasi juga tidak berjalan mulus, karena masyarakat yang boleh sekolah hanya dari golongan tertentu saja.

Akan tetapi, ada juga dampak positif yang ditimbulkan dari politik balas budi. Sebagai contoh, pemerintah Belanda mulai membangun jalur kereta api di pulau Jawa. Sementara di Batavia (sekarang Jakarta), mulai dibangun jalur kereta untuk trem listrik. Kebijakan politik etis akhirnya berakhir pada tahun 1942. Saat itu, Belanda menyerah kepada Jepang dalam Perang Asia Timur atau Perang Dunia Kedua.

 

JAWABLAH PERTANYAAN DIBAWAH INI !

1.       Mengapa tanam paksa diterapkan oleh pemerintahan Belanda?

2.       Sebutkan dan jelaskan aturan-aturan sistem tanam paksa !

3.       Jelaskan dampak yang ditimbulkan setelah diterapkannya sistem tanam paksa !

4.       Jelaskan tujuan dilaksanakannya politik pintu terbuka oleh kolonial Belanda pada tahun 1870 !

5.       Mengapa kebijakan politik pintu terbuka yang diterapkan oleh Belanda tidak membawa perubahan    bagi nasib bangsa Indonesia dan malah menjadi Medan eksploitasi baru ?

6.       Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem tanam paksa, politik pintu terbuka dan poliik etis !

7.       Sebutkan dan jelaskan 3 program politik balas budi !

8.       Sebutkan 4 faktor eksternal yang melatarbelakangi terjadinya Pergerakan Nasional Indonesia.

9.       Sebutkan 3 faktor internal yang melatarbelakangi terjadinya Pergerakan Nasional Indonesia.

10.   Jelaskan dampak dari politik etis !

Comments

Popular posts from this blog

KEDATANGAN BANGSA - BANGSA BARAT DI INDONESIA

KOLONIALISME DAN PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP KEDATANGAN BANGSA BARAT KE INDONESIA